MENGUNGKAP TABIR RAHASIA MAN JADDA WAJADA
Man jadda wajada. Barang siapa yang
bersungguh-sungguh maka akan mendapatakannya (Berhasil). Kata mutiara berbahasa
Arab itu sangat akrab di telinga kita dan termuat dalam kitab Ta’lim Muta’alim
karya Sekh Al-Jarnuji. Ta’lim Muta’alim adalah kitab yang menjelaskan tentang
hubungan murid dan guru dalam menuntut ilmu, entah itu mengenai etika yang
harus dilakukan para murid dalam belajar dan mencari ilmu atau tentang
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh murid dalam menuntut ilmu. Kitab ini
sering dipelajari di pesantren. Baik yang salafi maupun modern. Pertanyaannya
kemudian adalah, masih relevan atau tidakkah kata mutiara tersebut dengan
konteks kekinian? Untuk menjawab hal tersebut, mari kita telisik lebih dalam
kandungan isi dari kitab Ta’lim Muta’alim tersebut.
Pada pasal pertama, kitab ini menjelaskan tentang seorang
murid yang tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan adanya 6 (enam) syarat
yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah; petama, memiliki
kecerdasan. Kecerdasan ini tidak sebatas kecerdasan intelektual saja, tetapi
masih memiliki pendukung yang lain yakni kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual. Seorang pelajar yang memiliki kecerdasan-kecerdasan tersebut tidak
akan mengalami kesulitan di dalam menerima pelajaran dari gurunya. Kecerdasan
intelektual berfungsi untuk mencerna pelajaran yang lebih menekankan pada
fungsi akal pikiran. Kecerdasan emosional berperan pada aspek pendekatan yang
digunakan dalam belajar. Entah yang berupa musyawarah dalam memecahkan suatu
persoalan atau kedekatan hubungan secara personal seorang murid kepada gurunya.
Misalkan dalam bab lain disebutkan, jarak seorang murid dengan gurunya tak
lebih dari semeter jauhnya. Kecerdasan yang terakhir adalah kecerdasan
spiritual,yakni, sebuah kecerdasan yang lebih menitikberatkan pada hubungan
murid kepada sang pencipta. Kecerdasan spiritual sering diasah lewat riyadhoh
dan tirakat melalui puasa sunnah senin-kamis dan do’a panjang yang mereka
munajatkan pada waktu qiyamul lail. Salah seorang Ustadz sewaktu di Ma’had dulu
juga menganjurkan untuk selalu menunaikan dua hal ini, karena merupakan alat
ampuh bagi orang yang sedang menuntut ilmu, demikian juga pengalaman yang
pernah penulis alami sewaktu masih di bangku sekolah dulu.
Kedua, gemar terhadap ilmu pengetahuan, dalam
artian adanya keinginan untuk mengetahui semua ilmu. Hal ini merupakan sifat
alamiah manusia yang ingin mengetahui segala hal yang ada. Jika semangat ingin
tahu muncul dalam setiap diri murid, maka secara tidak langsung memotivasi
mereka untuk terus selalu gemar belajar, baik dengan, membaca, diskusi atau
musyawarah bertukar pendapat untuk memecahkaan suatu persoalan.
Syarat yang ketiga, seorang murid harus
sungguh-sungguh (jihad) dalam menuntut ilmu. Kesungguhan seorang murid dalam
menuntut ilmu tampak terlihat dari pengaturan waktu yang mereka lalui dalam 24
jam. Seorang murid yang memiliki kesungguhan hati dalam menuntut ilmu
seyogyanya tidak menyia-nyiakan waktunya untuk melakukan pekerjaan yang tidak
memiliki manfaat atau kurang bernilai untuk dirinya sendiri. Kesungguhan hati
disini juga bermakna memiliki kesabaran atas segala ujian dan cobaan dari Allah
SWT, baik yang berupa keadaan sakit atau dalam keadaan yang tidak mengenakkan
lainnya yang dialami oleh si murid. Pepatah lawas mengatakan semakin tinggi
suatu pohon, maka semakin kencang pula angin yang berhembus dan menginginkan ia
jatuh.
Keempat, harus memiliki bekal. Bekal dalam
konteks ini terbagi dalam dua hal, yakni bekal yang dalam arti fisik (harta
benda) dan jelas dipandang mata. Bekal dalam bentuk fisik bagi murid yang
sedang menuntut ilmu sangat dibutuhkan terutama dalam pemenuhan kebutuhan
fisik. Seorang murid juga membutuhkan tunjangan vitamin, protein dan mineral
yang cukup dalam menuntut ilmu. Dan bekal yang tak kasat mata (bathiniah),
yakni kesiapan akal dan mental dalam menerima semua pelajaran yang diajarkan
oleh sang guru. Bekal disini juga bisa diartikan adanya biaya untuk menuntut
ilmu atau sekolah. Sudah sejak zaman sahabat nabi dulu, sebuah pengetahuan
(ilmu) tentang apapun itu sangat bernilai dan mahal harganya. Kita tentu ingat,
Sayidina Ali Bin Abi Tholib -ia kunci ilmu dan Nabi Muahmmad SAW adalah
kotanya.. Imam Ali dengan ikhlas menjadi hamba sahaya seseorang yang telah
mengajarkannya ilmu pengetahuan, meskipun hanya satu kata.
Kelima, adanya guru pembimbing. Peran guru pembimbing
memiliki peran vital dalam kesuksesan seorang murid. Guru yang bijak akan
mengarahkan murid-muridnya kepada jalan yang benar yang sesuai dengan muridnya.
Artinya, segala keinginan murid diakomodir oleh guru dan dibimbing agar sesuai
dengan aturan dan norma yang ada dan berlaku di masyarakat. Guru memiliki peran
sebagai pengarah bakat dan skill bawaan sejak lahir yang dimiliki
murid-muridnya.
Selain dari itu,
tugas guru yang mulia adalah mengajar dan mendidik. Inilah yang sering
dilupakan masyarakat sekarang. Di sekolah yang sering kita temui, guru hanya
sebatas mengajarkan pelajaran-pelajaran sesuai dengan bidangnya masing-masing
dan sering meninggalkan perannya sebagai pendidik yang justru sangat dibutuhkan
oleh murid-muridnya. Disamping itu, kebiasaan guru yang baik adalah mendo’akan
semua muridnya setiap ba’da shalat yang dia tunaikan. Karena do’a seorang guru
memiliki peran yang cukup sentral untuk menghantarkan si murid meraih
kesuksesan yang dicita-citakannya semenjak kecil.
Yang terakhir dari enam
syarat tersebut adalah waktu yang lama (konsisten). Artinya, menuntut ilmu
itu, ilmu apapun itu tak bisa dicapai dengan cara singkat semudah membalikkan
telapak tangan. Orang mau pintar harus bahkan wajib untuk berproses yaknidengan
jalan belajar yang membutuhkan waktu yang lama. Karena sebuah proses tak
seperti ajang pencarian bakat yang serba instant dan cepat. Sering, kita jumpai
di televisi ajang-ajang pencarian bakat yang secara instant menjadikan
seseorang terkenal karena bakat yang dimilikinya. Namun, itu semua hanya
sebatas kulit ari semata yang dipoles sedemikian rupa dan seapik mungkin, belum
mencapai isinya yang menurut penulis lebih penting.
Akhirnya, setelah
menilik syarat-syarat dalam menuntut ilmu di atas, sangat wajar bila banyak
dari keluarga, teman, dan saudara kita yang berhasil dalam menuntut ilmu dan
sukses di kemudian hari adalah mereka yang memenuhi dan menjalankan semua
syarat tersebut. Yang artinya, apa yang ditulis oleh mushonif (pengarang kitab)
dalam kitab kuning tersebut masih relevans dan memiliki kesesuaian dengan zaman
modern.
Demikian yang dapat
kami sampaikan, marilah kita selalu terus belajar hingga ajal menjemput. Karena
orang yang terus mau belajar adalah orang yang mengerti ketidak-tahuan yang ada
dalam dirinya, bukanlah orang yang enggan untuk belajar dan merasa pintar
padahal pengetahuannya masih dangkal. Semoga bermanfaat. Amin. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirim komentar anda!