Secara
formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta
yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal
minimal berstatus mempunyai akta mengajar dan sarjana, dan telah
memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang
guru dan dosen yang berlaku di Indonesia.
Guru selalu dituntut agar selalu kreatif, banyak ide, prakarsa, inovasi, dan hal-hal baru lainnya. Guru
yang tidak kreatif tidak akan menarik bagi para murid-muridnya. Murid
hanya menyukai orang kreatif. Bahkan anak-anak dimasukkan ke sekolah,
bukan agar mereka berhasil menghafal isi buku yang dikarang oleh
seseorang. Tatkala dianjurkan untuk membaca buku, maksudnya adalah agar
jiwa kreatifitasnya tumbuh.Kreatifitas seseorang, termasuk guru, agar selalu tumbuh, maka memerlukan ruang, lingkungan, iklim atau suasana yang tepat. Suasana yang penuh dengan aturan, tata tertib, petunjuk, dan sejenisnya itu tidak akan melahirkan kreatifitas. Sebaliknya, hanya akan membunuh kreatifitas guru. Kreatifitas akan lahir manakala ada tantangan, suasan yang menghimpit, dan bahkan adanya persoalan yang seharusnya diselesaikan.
Tanpa adanya tantangan, seseorang tidak akan maju dan bersemangat untuk berbuat. Anak-anak yang dimanja oleh orang tuanya, dengan memenuhi semua kebutuhannya, atau apa saja dibantu, maka yang bersangkutan justru tidak akan tumbuh normal. Mereka akan menjadi cengeng. Itulah sebabnya, ada nasehat yang cukup bijak, agar anak tidak dimanjakan. Anak-anak harus diberti tantangan agar semakin cerdas dan kreatif, sekalipun tantangan itu harus disesuaikan dengan perkembangan usia dan kemampuannya.
Terkait dengan kreatifitas yang kemudian saya kaitkan dengan proses pembelajaran, maka saya seringkali mengagumi para kyai. Pimpinan pondok pesantren pada umumnya tidak pernah belajar tentang cara mengajar. Umpama mereka mengetahui tentang bagaimana mengajar, hanyalah berasal dari pengalaman atau kyainya tatkala mereka belajar. Oleh karena itu, saya yakin, para kyai tidak memiliki pengetahuan ilmiah secara mendalam tentang mengajar. Namun demikian, saya juga yakin, mereka mengetahui hakekat atau filsafat mengajar.
Kekaguman saya terhadap prestasi kyai, sebenarnya tolok ukur yang saya gunakan juga amat sederhana. Saya membandingkan antara dua jenis lembaga pendidikan yang berbeda, yaitu sekolah dan pesantren. Kedua-duanya sama-sama mengajarkan bahasa asing. Sekolah umum mengajarkan Bahasa Inggris, sementara itu, pesantren mengajarkan Bahasa Arab. Para pengajar Bahasa Inggris di sekolah umum dibekali dengan berbagai pengetahuan ilmiah, peralatan yang cukup, lingkungan yang mendukung, dan bahkan gaji atau honorarium yang memadai.
Sebaliknya di pesantren, para pengajarkan Bahasa Arab, pada umumnya tidak memiliki pengetahuan ilmiah tentang metodologi pengajaran. Bagi mereka yang penting mengajar agar para santrinya mampu berbehasa Arab baik membaca, menulis, maupun memahaminya. Peralatan mengajar yang digunakan oleh para kyai, tempat, dan apalagi honorarium, seringkali tidak terurus. Akan tetapi pada kenyataannya, sekalipun tidak terlalu lama belajar, para santri sudah bisa bercakap-cakap dan membaca buku teks berbahasa Arab.
Sementara itu, manakala berani jujur, tidak semua anak lulusan SMA, dan bahkan S1, S2, atau bahkan S3, berhasil menguasai Bahasa Inggris. Kelemahan itu akan ketahuan, ketika para sarjana mau berangkat belajar ke luar negeri. Mereka secara mendadak harus belajar Bahasa Inggris lagi secara intensif, kursus toefl dan semacamnya. Padahal di setiap jenjang, selalu diberikan pelajaran Bahasa Inggris dan telah dinyatakan lulus.
Perbedaan yang mencolok di antara ke dua jenis lembaga pendidikan itu, saya menduga disebabkan oleh karena adanya suasana yang berbeda di antara keduanya. Para kyai memiliki otoiritas, kebebasan dan keleluasaan untuk mengembangkan kreatifitasnya. Berbekalkan suasana itu, para kyai berhasil mengembangkan kreatifitasnya, termasuk kreatifitas dalam mencari teknik mengajar yang tepat. Sementara itu, para guru di sekolah dihadapkan pada berbagai peraturan, tolok ukur, jumlah jam, dan berbagai pedoman, sehingga menjadikan tugasnya ditunaikan atas petunjuk formal itu.
Bermacam-macam pedoman atau ketentuan yang diberlakukan kepada guru,disadari atau tidak, sebenarnya justru membunuh kreatifitas mereka. Dengan berbagai petunjuk, para guru menjadi tidak memiliki ruang untuk mengembangkan kreatifitasnya. Orientasi guru akhirnya hanya pada peraturan. Sebab mereka disebut sebagai guru yang baik manakala telah mengikuti peraturan atau pedoman secara tepat, sekalipun hal itu justru menjadikan guru tidak kreatif. Para guru telah mengajarkan Bahasa Inggris sesuai kurikulum dan petunjuk yang diberikan, namun pada kenyataannya, para siswa sekalipun telah dinyatakan lulus belum mampu berbicara dan memahami buku berbahasa Inggris.
Cara mengajar bahasa asing di Madrasah, pesantren Bahasa Arab, ternyata berhasil, walaupun dilakukan dengan cara sederhana dan murah. Bahkan di beberapa pesantren tidak saja berhasil mengajarkan Bahasa Arab, tetapi sekaligus juga Bahasa Inggris. Pesantren Gontor Ponorogo dan pesantren moderen lain menerapkan sistem pondok atau asrama, adalah sedikit contoh pesantren yang berhasil membekali santrinya dua bahasa asing sekaligus. Di dua pesantren itu, guru dibekali semangat, niat yang teguh, integritas, dan keikhlasan bekerja. Dengan cara itu, ternyata pendidikan bahasa asing di pesantren ternyata lebih berhasil dibanding para guru di banyak sekolah umum yang dibekali dengan peraturan dan petunjuk teknis.
Memperhatikan keberhasilan pendidikan bahasa asing di pesantren dan kemudian membandingkannya dengan di sekolah pada umumnya, maka hati saya selalu bertanya-tanya, mengapa pemerintah tidak berani mengadopsi apa yang telah dilakukan oleh pesantren. Bukankah pesantren sebenarnya juga milik bangsa Indonesia sendiri. Sesuatu pendekatan di pesantren yang ternyata berhasil, mengapa tidak dikembangkan di lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah. Selain itu, tatkala berbagai peraturan, pedoman, petunjuk teknis, justru membunuh kreatifitas, maka pertanyaannya, mengapa pemerintah justru membuat dan memberlakukannya kepada semua guru.
Bagi pekerja yang hanya menggunakan tenaga fisik memang diperlukan pedoman, petunjuk, atau sejenisnya. Akan tetapi para dosen, guru, seniman, dan sejenisnya, oleh karena jenis pekerjaan itu bukan bersifat fisik, maka kiranya tidak terlalu memerlukannya. Para pekerja itu, asalkan telah memenuhi syarat, baik menyangkut latar belakang pendidikan, pengalaman, catatan keberhasilan dalam menunaikan tugas, dan sejenisnya, maka semestinya diberi peluang seluas-luasnya untuk mengembangkan kreatifitasnya.
Saya ingat sebuah nasehat dari seorang bijak, bahwa hanya orang buta saja yang memerlukan pemandu atau tongkat. Sementara itu, guru bukan seperti orang buta. Oleh karena itu, ketika guru terlalu banyak diberi pedoman, petunjuk, arahan yang bersifat teknis, maka sama halnya dengan mempersamakan mereka dengan orang buta. Berikanlah kepada para guru ruang untuk berkreatifitas seluas-luasnya sebagaimana para ustadz di pesantren yang ternyata mereka lebih berhasil dalam mengajarkan Bahasa Arab kepada para santrinya. Wallahu a’lam.(AU)
Irwan Hadi, S.Pd ( Staf pengajar MA Assa'adah Labuapi )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirim komentar anda!