Dalam sejarah kita, Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928, sebenarnya mengajarkan kepada kita semangat agar bahasa
Indonesia-Melayu ini menjadi ciri bangsa Indonesia. Agar bangsa
Indonesia dikemudian hari menjadi bangsa besar dengan bahasa Indonesia.
Bukan dengan bahasa Belanda yang saat itu banyak dipakai kaum terpelajar
Indonesia, karena diwajibkan pemerintah Belanda digunakan di
sekolah-sekolah tanah air.
Para ulama kita juga merintis penggunaan bahasa Melayu ini dalam
karya-karya mereka. Bahasa Arab Jawi atau Arab Melayu mereka tulis dalam
karya-karya agung mereka mengenai bahasa, sejarah, biografi, politik,
kisah-kisah dan lain-lain. Buku-buku karya ulama dan tokoh-tokoh Islam
terkemuka seperti Nuruddin ar Raniri, Raja Ali Haji, Hamka, Mohammad
Natsir, Syafruddin Prawiranegara, A Hassan Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari
ditulis dalam bahasa Melayu atau bahasa Arab Melayu (Arab Jawi).
Kini bahasa Inggris, seolah-olah menjadi tolok ukur kecerdasan. Bila
orang tidak bisa bahasa Inggris dengan skor sekian, maka mereka sulit
untuk masuk ke perguruan tinggi ternama. Seolah-olah derajat mereka yang
bisa bahasa Inggris, lebih tinggi dari mereka yang faham bahasa
Indonesia. Mereka lupa, bahwa kecerdasan bahasa hanyalah salah satu
kecerdasan pada diri manusia. Ada sedikitnya delapan kecerdasan di diri
manusia: kecerdasan bahasa, matematika, spasial, interpersonal, musik
dan lain-lain. Orang Indonesia bisa ahli matematika, organisasi atau
musik tanpa menguasai bahasa Inggris.
Yang paling gawat dampaknya, bila bahasa sendiri tidak dihormati,
menurut pakar pendidikan Malaysia, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud : “Bangsa
itu menjadi tidak menghormati karya-karya orang-orang yang cerdas dari
bangsa sendiri.” Seolah-olah karya berbahasa lain mesti lebih bagus dari
tokoh-tokoh bangsa sendiri. Padahal orang-orang hebat bangsa itu
sendirilah yang hari ke hari mengamati kondisi bangsanya, yang akan
sanggup mengatasi permasalahan di bangsa itu.
Tentu, tidak dipungkiri bahasa asing perlu dikenal.
Mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi perlu belajar bahasa Inggris
untuk lebih mendalami sains, teknologi, komputer dan lain-lain. Karena
memang tidak dipungkiri sains dan teknologi sekarang ini, banyak ditulis
dalam bahasa Inggris. Permasalahannya, bila bahasa Inggris diajarkan
intensif di sekolah menengah, maka para murid akan setengah matang
pemahamannya terhadap bahasa ibu sendiri. Akhirnya kemampuan bahasa
Indonesia pun setengah jadi dan bahasa Inggrisnya pun tanggung. Jadilah
penggunaan bahasa yang kacau di masyarakat, seperti kita lihat di
mall-mall, perumahan-perumahan dan buku-buku sekarang ini.
Juga banyak mental para pebisnis dan penerbit buku di tanah air sekarang ini, bila hanya menggunakan bahasa Indonesia, seolah-olah kurang keren. Kurang diminati. Mereka pun ikut-ikutan membuat judul dengan bahasa Inggris, padahal isinya bahasa Indonesia. Dampak lebih jauh generasi muda di masa 10 tahun mendatang bisa-bisa lebih bangga berbahasa Inggris daripada berbahasa Melayu. Seperti yang terjadi di Malaysia dan Singapura sekarang ini.
Memang tidak dipungkiri adanya pertarungan ide dalam memasukkan
sebuah kata serapan dalam bahasa Indonesia. Bila dulu banyak
lafadz-lafadz Arab masuk dalam kosa kata Indonesia, kini kebanyakan
kata-kata Inggris yang masuk. Seiring digesernya peranan ahli sastra
Melayu, seperti Raja Ali Haji dan Hamka dengan Gorrys Keraf dan A Teeuw.
Padahal penggantian kata kadang membawa makna yang jauh. Kata murid,
yang digulirkan secara cermat oleh cendekiawan/ulama Islam diganti
dengan kata siswa dengan menginduk pada Taman Siswa Ki Hajar Dewantoro.
Murid dari kata araada-yuriidu-muriidan. Maknanya orang mempunyai
kehendak. Orang yang mempunyai kemauan. Orang yang mempunyai cita-cita.
Sedangkan siswa? Wallahu aliimun hakiim.*
Penulis adalah peneliti Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)
Rep: Cholis Akbar
Editor: Cholis Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirim komentar anda!