BLOG BASTRINDO BERBAGI INFORMASI SEPUTAR PENDIDIKAN MADRASAH

Minggu, 07 September 2014

NASIB BAHASA INDONESIA

Dalam sejarah kita, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, sebenarnya mengajarkan kepada kita semangat agar bahasa Indonesia-Melayu ini menjadi ciri bangsa Indonesia. Agar bangsa Indonesia dikemudian hari menjadi bangsa besar dengan bahasa Indonesia. Bukan dengan bahasa Belanda yang saat itu banyak dipakai kaum terpelajar Indonesia, karena diwajibkan pemerintah Belanda digunakan di sekolah-sekolah tanah air.
Para ulama kita juga merintis penggunaan bahasa Melayu ini dalam karya-karya mereka. Bahasa Arab Jawi atau Arab Melayu mereka tulis dalam karya-karya agung mereka mengenai bahasa, sejarah, biografi, politik, kisah-kisah dan lain-lain. Buku-buku karya ulama dan tokoh-tokoh Islam terkemuka seperti Nuruddin ar Raniri, Raja Ali Haji, Hamka, Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, A Hassan Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari ditulis dalam bahasa Melayu atau bahasa Arab Melayu (Arab Jawi).
Kini bahasa Inggris, seolah-olah menjadi tolok ukur kecerdasan. Bila orang tidak bisa bahasa Inggris dengan skor sekian, maka mereka sulit untuk masuk ke perguruan tinggi ternama. Seolah-olah derajat mereka yang bisa bahasa Inggris, lebih tinggi dari mereka yang faham bahasa Indonesia. Mereka lupa, bahwa kecerdasan bahasa hanyalah salah satu kecerdasan pada diri manusia. Ada sedikitnya delapan kecerdasan di diri manusia: kecerdasan bahasa, matematika, spasial, interpersonal, musik dan lain-lain. Orang Indonesia bisa ahli matematika, organisasi atau musik tanpa menguasai bahasa Inggris.
Yang paling gawat dampaknya, bila bahasa sendiri tidak dihormati, menurut pakar pendidikan Malaysia, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud : “Bangsa itu menjadi tidak menghormati karya-karya orang-orang yang cerdas dari bangsa sendiri.” Seolah-olah karya berbahasa lain mesti lebih bagus dari tokoh-tokoh bangsa sendiri. Padahal orang-orang hebat bangsa itu sendirilah yang hari ke hari mengamati kondisi bangsanya, yang akan sanggup mengatasi permasalahan di bangsa itu.
Tentu, tidak dipungkiri bahasa asing perlu dikenal. Mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi perlu belajar bahasa Inggris untuk lebih mendalami sains, teknologi, komputer dan lain-lain. Karena memang tidak dipungkiri sains dan teknologi sekarang ini, banyak ditulis dalam bahasa Inggris. Permasalahannya, bila bahasa Inggris diajarkan intensif di sekolah menengah, maka para murid akan setengah matang pemahamannya terhadap bahasa ibu sendiri. Akhirnya kemampuan bahasa Indonesia pun setengah jadi dan bahasa Inggrisnya pun tanggung. Jadilah penggunaan bahasa yang kacau di masyarakat, seperti kita lihat di mall-mall, perumahan-perumahan dan buku-buku sekarang ini.

Juga banyak mental para pebisnis dan penerbit buku di tanah air sekarang ini, bila hanya menggunakan bahasa Indonesia, seolah-olah kurang keren. Kurang diminati. Mereka pun ikut-ikutan membuat judul dengan bahasa Inggris, padahal isinya bahasa Indonesia. Dampak lebih jauh generasi muda di masa 10 tahun mendatang bisa-bisa lebih bangga berbahasa Inggris daripada berbahasa Melayu. Seperti yang terjadi di Malaysia dan Singapura sekarang ini.
Memang tidak dipungkiri adanya pertarungan ide dalam memasukkan sebuah kata serapan dalam bahasa Indonesia. Bila dulu banyak lafadz-lafadz Arab masuk dalam kosa kata Indonesia, kini kebanyakan kata-kata Inggris yang masuk. Seiring digesernya peranan ahli sastra Melayu, seperti Raja Ali Haji dan Hamka dengan Gorrys Keraf dan A Teeuw.
Padahal penggantian kata kadang membawa makna yang jauh. Kata murid, yang digulirkan secara cermat oleh cendekiawan/ulama Islam diganti dengan kata siswa dengan menginduk pada Taman Siswa Ki Hajar Dewantoro. Murid dari kata araada-yuriidu-muriidan. Maknanya orang mempunyai kehendak. Orang yang mempunyai kemauan. Orang yang mempunyai cita-cita. Sedangkan siswa? Wallahu aliimun hakiim.*


Penulis adalah peneliti Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)


Rep: Cholis Akbar

Editor: Cholis Akbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirim komentar anda!